Bogor, 30 Mei 2025 — Program Teras LHA (Lingkungan Hidup dan Agromaritim) Series 2 resmi digelar di Resto Bumi Semboja, Kota Bogor dengan menghadirkan narasumber utama Prof. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Dekan FPIK IPB University. Teras LHA Series 2 kali ini dihadiri oleh 34 mahasiswa dan alumni IPB University. Rangkaian acara tersebut mengangkat tema “Menelusuri Paradoks Konservasi Pesisir” yang diisi dengan diskusi kritis mengenai makna implementasi konservasi lingkungan dan permasalahan regulasi tata kelola sumber daya alam.

Kegiatan Teras LHA 2 dibuka oleh sambutan Ketua Pelaksana, Ir. Adi Karta Kusuma, S. Hut dan Firman Arief Soejana, M.T selaku Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB University. Ketua Pelaksana menyampaikan, kegiatan Teras LHA yang terbagi dalam 6 series ini di mana sekarang adalah series 2-nya berangkat dari keresahan teman-teman yang berkaitan tentang lingkungan hidup dan agromaritim. Sambutan diakhiri oleh Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascsarjana yang menyampaikan, “Semoga kegiatan Teras LHA nantinya dapat menghasilkan sebuah kebijakan yang sangat berguna untuk kita semua ke depannya”.
Pada awal sesi diskusi, Prof Fredinan menegaskan “pentingnya memandang sumber daya alam (SDA) sebagai anugerah Tuhan yang tidak terbatas namun pemanfaatannya harus tetap terukur dan berkelanjutan”. Beliau menyampaikan bahwa kawasan konservasi merupakan sinyal akan kebutuhan khusus terhadap perlindungan SDA sekaligus sebagai bentuk intervensi penting dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi nasional.
Pada tahun 1990-an, konservasi dipahami sebagai barang yang dilindungi dan berkembang hingga sekarang. Prof Fredinan menekankan bahwa konservasi bukan sekadar pembatasan tetapi pengelolaan SDA yang bijak dan terencana dengan mengedepankan prinsip pelestarian, pemanfaatan, dan keberlanjutan. Beliau mengkritisi rendahnya pemanfaatan kekayaan laut Indonesia sebagai sumber penerimaan negara yang belum tergarap maksimal.

Diskusi semakin hidup saat sesi tanya jawab, di mana para peserta mengangkat isu-isu aktual seperti konflik kepentingan antara konservasi dan industri tambang di wilayah pesisir, misalnya yang terjadi di Bangka Belitung dan Halmahera. Menanggapi hal ini, Prof Fredinan menyampaikan bahwa paradoks konservasi tidak harus membenturkan nilai ekologi dan ekonomi, melainkan justru dapat disinergikan demi mencapai pembangunan berkelanjutan berbasis daya dukung lingkungan (carrying capacity). Prof Fredinan juga menegaskan pentingnya peran akademisi dalam mendorong kebijakan berbasis kondisi lokal serta ruang partisipatif bagi masyarakat kecil agar tidak hanya menjadi objek tetapi pelaku aktif dalam pembangunan berkelanjutan.
Acara ini menjadi pengingat bahwa konservasi yang ideal bukanlah menolak pembangunan, melainkan mengarahkan pembangunan agar selaras dengan keberlangsungan ekologi. “Konservasi adalah tindakan menjaga lingkungan untuk memastikan kesejahteraan di masa depan”, pesan penutup Prof Fredinan mengakhiri sesi diskusi.